Rabu, 22 April 2009

Inul " Titik Balik Musik Dangdut Modern

Dangdut sebagai salah satu jenis musik memiliki keunikan tersendiri. Iramanya sanggup membuat semua orang berjoget tanpa perlu aturan tertentu untuk menikmatinya. Lirik-lirik dangdut penuh dengan nada ratapan nasib, kekecewaan, kekesalan, kebencian, harapan, tangisan dan cinta terhadap sesuatu. Karena itu dangdut identik dengan musik yang cengeng, norak dan kampungan. Musik dangdut juga milik mereka yang kampungan dan yang kampungan itu adalah kaum pinggir/rakyat miskin.

Adalah Televisi Pendidikan Indonesia atau disingkat dengan TPI yang pertama kali menyiarkan acara musik dangdut. Acara yang ditayangkan pada siang hari, berdurasi satu jam merupakan acara khusus musik dangdut. Target penonton adalah para pecinta musik dangdut yang tersebar di pelosok-pelosok desa. Tahun 1995-an Indosiar salah satu tv swasta membuat program musik “Dangdut on The Campus” yang diputar pada hari Minggu pukul 10 pagi. Tayangan ini mengupas tentang pendapat para mahasiswa (dapat dibaca ‘jajak pendapat’) tentang musik dangdut dan mahasiswa diminta untuk ikut bergoyang dangdut. Acara ini nampaknya cukup sukses dan diikuti terus oleh kalangan mahasiswa sekaligus membuktikan bahwa tidak semua mahasiswa alergi terhadap musik dangdut.

Tidak mau ketinggalan dengan televisi yang lain, SCTV membuat program “Sik, Asyik..” acara khusus musik dangdut. RCTI dengan “JOGED”-nya dan LATIVI pendatang baru dipertelevisian menggelar langsung musik dangdut yang dikemas dalam “Kawasan Dangdut”. Demikian juga dengan tv-tv lain berlomba-lomba menyajikan musik dangdut.
Musik dangdut di tv dikemas begitu rupa, dari penampilan penyanyinya dengaan baju ‘sopan’ dan tertutup, goyangan yang dibatasi, dan membuang syair-syair yang erotis. Semua ini dilakukan untuk menghilangkan kesan, kalau dangdut itu musik erotis dan merusak moral. Secara tidak langsung ini adalah usaha agar dangdut bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Sosialisasi musik dangdut lewat layar kaca nampaknya cukup berhasil, buktinya musik dangdut diterima oleh mahasiswa, musik dangdut diputar di kafe-kafe milik kaum elit, para pecinta musik klasik, jazz, rock dan lagu-lagu pop lainnya mau mendengar lirik-lirik dangdut. Sebagian dari artis (semula artis pop) bersedia menyanyikan lagu-lagu dangdut. Bahkan gubernur Jatim Basofi Sudirman kala itu, dikenal sebagai ‘penyanyi dangdut’ dengan lagu hit-nya “Tidak Semua Laki-Laki”. Contoh kongkrit lain adalah Obbie Mesakh pencipta lagu-lagu pop berputar haluan mencipta lagu dangdut. Dengan demikian usaha “menjadikan dangdut sebagai musik semua lapisan masyarakat” lewat televisi terbukti sangat ampuh.

Goyang “ngebor” Inul bagian dari dangdut pinggiran
Rileks.Com adalah portal hiburan yang pertama kali menulis tentang goyang ‘ngebor’ Inul. dalam kupasannya diperoleh informasi bahwa Inul sudah lama berkarir didunia hiburan, selama itu ia menghibur masyarakat pada banyak acara seperti perkawinan dan sebagainya. Karena goyang “ngebor”-nya yang terkenal, Inul sudah sampai ke luar negeri. Kemudian dalam waktu yang relatif singkat, berita tentang goyang “ngebor’ Inul menghiasi media-media yang ada di negeri ini.

Hampir di setiap warung makan, di perkantoran, kampus dan tempat umum lainnya membicarakan tentang Inul. Di kalangan artis sendiri, muncul pendapat yang pro-kontra tentang artis “baru” Inul Daratista. Ada artis yang mendukung Inul seperti misalnya Ulfa, Roni Sianturi, Eko Patrio dan lainnya. Artis dangdut yang tidak suka dengan Inul juga banyak seperti Iis Dahlia bahkan Rhoma Irama, si Raja Dangdut, melontarkan kritikan yang sinis dan penuh penghakiman bahwa goyang Inul terlalu erotis dan mengexploitasi seks. Kritikan Rhoma senada dengan beberapa tokoh agama yang mengkritik goyang Inul adalah goyang ranjang pengundang nafsu birahi. Nada-nada minor terhadap Inul datang secara beruntun, sikap pro dan kontra ditunjukan secara terbuka. Semua memperlihatkan adanya rasa iri,cemburu dan takut tersaingi. Inul dilihat sebagai “ancaman” dalam meraih keuntungan di bisnis hiburan. Karena Inul sanggup menurunkan popularitas artis-artis papan atas, dalam waktu yang pendek.

Gaya Inul yang norak, goyangan yang hot, suara yang pas-pasan ternyata sanggup menyedot perhatian masyarakat. Sebagian besar masyarakat antusias menyambut kehadiran Inul dan goyang Inul dinantikan oleh kita semua. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, kita menerima musik dangdut yang kampungan itu lewat kehadiran Inul. Karena musik dan goyangan yang ditawarkan Inul adalah bagian dari musik dangdut pinggiran.

Pada hakekatnya dangdut adalah milik mereka yang termarjinalkan. Meminjam istilah Rhoma dangdut adalah milik kaum comberan. Sebagai haji dan seniman dangdut, Rhoma sangat meremehkan penggemarnyaa dengan label comberan. Seperti dikutip oleh PK edisi Minggu 27 April, “…citra dangdut yang dibangun oleh seniman kembali terperosok masuk comberan”. Inul dituding telah merusak citra dangdut yang susah payah dibangun agar masuk kalangan elit. Rhoma begitu emosi karena ia dan kelompoknya merasa berjasa dalam memboyong dangdut comberan ke papan atas.

Fenomena Inul adalah titik balik dangdut yang ‘disopankan’Apa yang dilakukan Rhoma dan seniman dangdut lain untuk mengangkat derajat dan citra dangdut tidaklah salah. Tapi jangan lupa bahwa dangdut juga milik mereka yang comberan. Ketika dangdut ‘disopankan’ oleh sebagian seniman, pada saat yang sama dangdut comberan tetap berlangsung dalam masyarakat. Nampaknya kesenian “comberan” (penulis tidak cocok dengan kata ini karena terlalu merendahkan dan kasar) ini tidak akan mati bahkan sebaliknya ia akan tetap hidup. Inul hanyalah satu contoh wajah dangdut pinggiran yang muncul kepermukaan, disaat musik dangdut terhanyut dalam keelitannya. Masih banyak seniman dangdut yang lebih parah dari Inul, hanya saja keberuntungan sedang berpihak pada Inul.

Goyang “bor” Inul sedang ‘mengingatkan’ musik dangdut yang terlena dengan “kemodernannya”, untuk kembali pada ciri khas dangdut pinggiran. Fenomena Inul hendak mengatakan inilah musik dangdut asli, yang cengeng, norak dan kampung. Musik dangdut adalah selera dan milik kaum marjinal, musik yang sanggup menghibur wong cilik, masyarakat lapisan paling bawah dan paling banyak penghuninya. Mungkin sudah saatnya dangdut harus kembali keselera asal, Inul hendak mengajak kita semua untuk menengok kembali asal muasal ‘negeri musik dangdut’.

Orang bijak mengatakan bahwa roda selalu berputar, ada kalanya manusia atau sesuatu duduk diposisi puncak, satu saat nanti berada dibawah. Demikian halnya dengan musik, rambut dan mode atau baju. Tidak ada sesuatu yang baru, karena yang baru sebenarnya adalah yang lama diputar kembali. Begitu juga dengan fenomena Inul, ia adalah titik balik dari dangdut yang dimodernkan. Jadi mengapa dicerca dan dimaki? Marilah kita jujur ketika mencaci kita juga sebenarnya menikmati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar